12.17.2011

Night of Nothingness

Saya selesai menonton sebuah film tentang Mother Teresa (2003) di Youtube, yang kemudian menuntun saya untuk mengetahui lebih lanjut tentang dia di Wikipedia, dan beberapa website dari Google.

Setelah menonton film itu, saya terinspirasi untuk berbuat lebih bagi dunia, terlebih khusus untuk kemanusiaan, kesetaraan, dan perbuatan kasih. Saya tidak tahu kalau saya mampu, saya sendiri pun meragukan diri saya sendiri. Tapi seandainya diberikan kesempatan, saya mau berpartisipasi. Lebih baik mencoba daripada tidak pernah sama sekali.

Tapi tulisan ini bukan tentang pemikiran saya mengenai betapa inspiratifnya film biografi Ibu Teresa dari Kalkuta itu, tapi tentang bagian tulisan di Wikipedia yang saya cantumkan di atas. Dalam artikel itu disebutkan tentang kehidupan spiritual beliau. Di sinilah yang lebih menarik perhatian saya, selain film itu sendiri. Disini disebutkan bagaimana kehidupan rohani Ibu Teresa yang dituangkan dia dalam buku harian, dan sharing pribadi beliau dengan orang-orang terdekatnya. Dan saya merasa tertarik mengetahui betapa beliau merasa ragu-ragu dan susah payah dalam hal keimanan sepanjang hidupnya (disebutkan di situ beliau merasa demikian selama 50 Tahun masa hidupnya hingga sebelum beliau meninggal dunia). Sesuatu yang menarik bagaimana seseorang yang begitu inspiratif dengan aksi sosial dan dedikasinya untuk Yesus, ternyata merasakan kosong dalam hati.

Dalam sub-artikel wikipedia tersebut memuat penjelasan mengenai hal ini (untunglah). Dan di sini saya berniat berbagi bagian yang menurut saya baik untuk dijelaskan:

Menganilisis buah perbuatan dan pencapaiannya, JPII bertanya: “Dimana Ibu teresa menemukan kekuatan dan ketekunan untuk menempatkan diri dalam pelayanan bagi sesama? Dia menemukannya dalam doa dan dalam doa dan perenungan akan Yesus Kristus, Wajah SuciNya, Hati KudusNya. Secara pribadi, beliau mengalami keragu-raguan dan bersusah payah dalam hal keimanannya hampir selama 50 tahun hingga akhir hayatnya, selama itu beliau merasakan ‘ketidakhadiran Tuhan atau demikian’, “baik dalam hatinya ataupun dalam Ekaristi” seperti yang dikutip postulator beliau Rev. Brian Kolodiejchuk. Ibu Teresa merasa keragu-raguan yang besar tentang Kehadiran Tuhan dan kesakitan tentang hal itu.

Dimana imanku? Bahkan jauh di dalamnya ... tiada apapun selain kekosongan dan kegelapan ... Jika Tuhan ada – ku mohon ampuni aku. Ketika aku mencoba mengadahkan pikiranku ke Surga, ku merasa kekosongan yang menjarakan yang hingga menusuk balik dan menyakiti jiwaku ... Betapa sakitnya ketidaktahuan luka ini – Aku tidak memiliki Iman. Ditolak, kosong, tak beriman, tidak ada cinta, tidak ada semangat ... Untuk apa aku bekerja?? Jika Tuhan itu tidak ada, maka tidak ada jiwa. Jika tidak ada jiwa, maka Yesus, Engkau pun tidak benar.

Berdasarkan referensi di atas, Rev. Brian Kolodiejchuk, postulator beliau (yang bertanggungjawab mengumpulkan bukti penyucian beliau) mengindikasikan bahwa terdapat resiko yang besar untuk salah menafsirkan maksud beliau, namun iman akan Tuhan yang bekerja melalui beliau tetap bertahan, dan sembari merana akan perasaan kosong tidak dekat dengan Tuhan, beliau masih meyakini akan keberadaan Tuham, beliau mungkin merasakan sesuatu yang serupa yang Yesus Kristus rasakan ketika Dia berkata “Eli Eli lama sabachtani?” yang berarti “Tuhanku, Tuhanku, Mengapa Engkau meninggalkan Daku?”. Banyak pula santo-santa merasakan hal ini, kekeringan spiritual, atau yang dipercayai oleh Gereja Katolik sebagai ujian iman (“purifikasi pasif”), seperti yang diungkapkan St. Therese of Lisieux sebagai “malam kehampaan”. Bertolakbelakang dengan pendapat orang-orang yang mengatakan hal tersebut merupakan halangan kanonisasi beliau, malah sebaliknya; hal ini adalah konsistensi penting bagi pengalaman mistik mereka yang akan dikanonisasi.

Ibu Teresa menjelaskan, setelah 10 tahun keragu-raguan, beliau merasakan keimanannya pulih untuk waktu singkat. Saat kematian Paus Pius XIII musim gugur 1958, berdoa bagi nya saat misa orang mati, beliau bertestimoni bahwa beliau merasakan dilepaskan dari “kegelapan yang panjang; kesakitan yang aneh itu.” Bagaimanapun, lima minggu kemudian, beliau kembali kepada kesusahan imannya.

Ibu Teresa menulis banyak surat kepada petinggi nya selama 66 tahun. Beliau meminta suratnya dihancurkan, beranggapan “orang-orang akan berpikir pada bagi saya –kurang bagi Yesus”. Dalam satu surat bagi Rev. Michael van der Peet yang dikeluarkan bagi publik, beliau menulis “Yesus mempunyai cinta yang khusus bagi anda, [Tapi] seperti saya, keheningan dan kegelapan sangat besar, sehingga saya menatap tapi tidak melihat, menguping tapi tidak mendengarlidah berger bergerak [dalam doa] tapi tidak berbicara ... saya ingin anda berdoa bagi saya –aku ingin Dia memiliki aku.”

Dan seterusnya.....

Saya kemudian mengerti dengan mengutip surat Yang Terberkati Ibu Teresa dari Kalkuta “keheningan dan kegelapan sangat besar, sehingga saya menatap tapi tidak melihat, menguping tapi tidak mendengarlidah berger bergerak [dalam doa] tapi tidak berbicara ... saya ingin anda berdoa bagi saya –aku ingin Dia memiliki aku.”

Mistikus abad ke-16, St. Yohanes dari Salib, merefer pernyataan tersebut dengan istilah “jiwa kegelapan malam” guna mendespkripsikan tahapan tertentu dalam perkembangan spiritual seorang yang taat.

Tidak ada komentar: